[Tenshi no Melody] Disc 01 - Departure

Cover Art by
F Hidayat Injberg

“Aku berangkat, jaga rumah ya, Otomi!”

“Baik kak, hati-hati di jalan ya..”

Namaku Ikina Ueki, laki-laki, umur 19 tahun. Aku bekerja di sebuah Restoran kecil yang terdapat di pinggiran kota. Saat ini aku tengah mengayuh sepedaku untuk berangkat ke sana. Seperti kebanyakan orang, aku pun memiliki “Kekuatan Pekerjaan”. Ya, kekuatan yang bersumber dari bibit Dunia Kemakmuran, kekuatan untuk menambah “fungsi” pada “alat”. Hanya saja, kekuatanku masih tergolong “setengah pekerjaan”. Disebut begitu karena kekuatan pekerjaan yang dimiliki belum sempurna. Kekuatan pekerjaan yang sempurna itu memiliki simbol “alat” di tangan kanan untuk menyimpan alat dan simbol “fungsi” di tangan kiri untuk menambah fungsi, sementara aku hanya memiliki simbol alat.

Sementara tadi yang mengantar kepergianku adalah adikku, Otomi Ueki, 16 tahun. Manusia biasa, sama sepertiku. Kami hidup hanya berdua karena orang tua kami yang meninggal beberapa waktu yang lalu. Kami hanya dua bersaudara. Kami sengaja tidak ingin bergabung dengan sanak keluarga yang lain karena kami mencintai wilayah ini. Kami mencintai tempat kelahiran kami ini. Selain itu, hanya orang-orang yang memiliki ijin saja yang sanggup menyeberang antar wilayah.

Adik perempuanku tidak menggunakan kekuatan pekerjaan karena menurut peraturan Tiga Dunia, Manusia Biasa dilarang memiliki kekuatan Pekerjaan kecuali telah Menikah, berumur 17 tahun, atau yang bersangkutan telah bekerja. Peraturan serupa berlaku bagi Manusia Langit dan Manusia Neraka. Untuk Manusia Langit, dilarang melebihi level 2 dan untuk Manusia Neraka dilarang “menelan” makhluk apapun, sampai batasan yang disebutkan tadi terpenuhi.

Peraturan yang agak tidak adil menurutku, karena Manusia Langit dan Manusia Neraka memiliki kekuatan spesial dari lahir, tidak seperti manusia biasa. Setidaknya Manusia Langit masih bisa mengancam kami dengan Kurogane mereka. Oh iya, Manusia Neraka juga dilarang untuk menelan Manusia lainnya dan hanya diperbolehkan menelan makhluk jenis “Monster”. Meski begitu, kekuatan super Manusia Neraka tetap saja merepotkan.

Ckitt.

Aku mengerem sepedaku. Pelan kuparkir sepedaku di sebelah belakang bangunan, dekat dengan pintu. Aku masuk dan mendapati Ferdins, rekan kerjaku di Restoran tersebut telah datang lebih dahulu.

“Yo, Ikina! Gimana kabar adikmu hari ini? Pasti luar biasa!” tanya Ferdins tersenyum lebar.

“Ya ya ya. Seperti biasa..” jawabku acuh, tak terlalu peduli pada apa yang dikatakan Ferdins.

Aku kemudian ke ruang ganti dan mengenakan seragam kerjaku: apron merah, polo bergaris tipis, dan sebuah topi bertengger di kepalaku. Oh iya, tugasku di sini adalah sebagai pelayan yang mengantarkan pesanan makanan dan minuman pada pelanggan ke meja mereka. Sudah sekitar setahun aku menekuni pekerjaan ini selagi melanjutkan sekolah. Untung pemilik restoran ini cukup baik hati mengijinkanku bekerja di sini karena kebetulan beliau menganggap almarhum ayah dan ibunda kami seperti saudara.

Sedangkan Ferdins, laki-laki yang selalu ceria dan sering bersenandung itu sudah bekerja di sini sejak lama, dia yatim piatu juga sepertiku, hanya saja dia tidak sempat mengenal orang tuanya. Di sini jika tidak mengantar pesanan ke meja sepertiku, dia akan bekerja sebagai Pengantar makanan yang dipesan via Delivery Order. Yah, dia mendapatkan tugas itu karena memang spesialisasinya adalah Raika, Senjata Dewa Manusia Langit level 6. Oh iya, Ferdins memang termasuk ras Manusia Langit dan dia sudah berumur 19 tahun, jadi dia sudah boleh menggunakan Senjata Dewa di atas Level 2.

“Hei, Ikina! Ada pesanan di Meja no. 3 dan no. 5!”

“Baik…”

Yang memanggilku adalah Koba, 21 tahun. Laki-laki pendiam itu bekerja sebagai penerima pesanan. Cocok untuknya, karena dia memang murah senyum. Hampir dalam setiap kondisi, dia berusaha untuk tetap tersenyum. Tidak ada yang tahu latar belakangnya seperti apa, tapi sepertinya dia merupakan keturunan langsung dari Negara yang dulunya disebut Jepang itu, karena dia bermata sipit dan kulit putih. Sekedar tahu saja, semenjak Dunia Manusia dan Dunia Kemakmuran bersatu, istilah “Negara” telah berubah menjadi “Region”. Disebut begini karena penyatuan Kedua Dunia menyebabkan tiap wilayah yang kini disebut “Region” itu memiliki pembatas di sekelilingnya seperti halnya di Dunia Kemakmuran. Hal ini disebabkan karena Monster-monster dari Dunia Kemakmuran pun ikut terbawa sehingga dinding Pembatas itu tetap diperlukan.

“Ikina! Meja no. 4 dan no. 8!” teriak Koba menyebutkan pesanan berikutnya.

Kerja di sini cukup repot saat hari libur seperti sekarang. Delapan buah Meja bulat yang disusun acak di ruangan 9x8 itu cukup membuat lelah saat berpindah di antaranya meskipun jaraknya tidak terlalu jauh. Tapi dua rekan kerjaku terlihat bersemangat. Koba yang selalu tersenyum ramah dan Ferdins yang selalu ceria membuatku ikut menikmati pekerjaan ini. Cat oranye yang digunakan di tembok restoran kecil kami ini juga membuat perasaan jadi semakin cerah.

“Tambah…!!” teriak pelanggan di salah satu meja.

Noina, 18 tahun, pelanggan setia restoran kami inilah yang tadi berteriak memanggil. Nafsu makannya tergolong besar untuk seorang perempuan. Entah memang Manusia Neraka semuanya bernafsu makan besar atau hanya dia seorang yang seperti itu. Aku tidak banyak mengenal Manusia Neraka karena memang kebanyakan Manusia Neraka lebih suka hidup di Dunia Neraka. Noina termasuk akrab dengan kami, karena hampir setiap hari dia mampir kemari. Seolah-olah Noina adalah bagian dari kami.

Aku terburu-buru mengantarkan pesanannya yang tidak habis-habis itu. Kulihat gadis yang lebih muda setahun dariku itu melahap makanannya dengan semangat. Entah apa yang luar biasa dari tiga biji Hamburger yang hanya menggunakan Daging Sapi impor, yang jelas Noina terlihat sangat menikmatinya.

“Hei Ikina, mana Pak Oruda?” Tanya Noina padaku yang masih berdiri di sana.

“Entahlah, dia tidak kelihatan dari kemarin.” jawabku.

“Hoo.. padahal ini kan hari bersejarah, harusnya dia ada di sini untuk menonton acara itu di televisi bersama kita.” Lanjut Noina.

Ya, sebenarnya masih ada satu orang lagi, tapi entah kenapa dia tidak muncul-muncul semenjak dua hari yang lalu. Dia senior di restoran ini yang sudah bekerja jauh lebih lama dari kami. Dia bekerja sebagai Manajer restoran kecil ini. Namanya Oruda, 33 tahun. Pria ini memiliki kekuatan pekerjaan, tapi tidak semua orang mengetahui apa kekuatan pekerjaannya mengingat dia selalu menggunakan sarung tangan bahkan saat bekerja.

Sedangkan hari bersejarah yang dimaksud oleh Noina itu, mungkin adalah hari pengumuman siapa saja Calon Dewa yang berhak maju membawa timnya untuk menerima tahta “Dewa”. Selain pengumuman Calon Dewa tersebut, akan ada juga pengumuman tentang tim mana saja yang maju untuk mewakili Calon-calon Dewa tersebut. Semua ini disiarkan di Televisi kami dan di Semua Channel di Tiga Dunia. Dan saat ini, televisi tengah menyiarkan acara yang dimaksud.

Aku pribadi sih tidak tertarik untuk mengikutinya. Sistem pemilihan Dewa dengan cara macam itu tidak masuk akal bagiku. Tapi berhubung hanya itu cara yang saat itu bisa ditempuh untuk menghindari perang, ya sudahlah. Toh, aku juga tidak terlalu peduli dengan hadiahnya. Aku cukup merasa damai berada di regional ini. Lagipula aku hanya memiliki kekuatan Setengah Pekerjaan.

Brakk!

Tiba-tiba terdengar pintu samping restoran dibuka keras-keras. Semua menoleh ke arah pintu tersebut. Speak of the Devil, Ternyata Pak Oruda yang datang.

“Restoran ditutup sementara!” teriaknya tiba-tiba. “Mohon bagi pelanggan yang tengah menikmati makanannya untuk segera pulang, tidak perlu membayar tidak apa-apa!” lanjut Pak Oruda sembari menariki tangan para pelanggan. Sedikit mengusir.

Keheranan, para pelanggan tetap pulang sesuai permintaan Pak Oruda. Kami bertiga: aku, Ferdins, dan Koba, diam di tempat tanpa mengerti apa yang harus dilakukan. Semua pelanggan kelihatannya telah pergi dari ruangan ini. Pak Oruda mengunci pintu depan dan berbalik ke arah kami.

“Berkumpullah kalian kemari!” kata Pak Oruda tiba-tiba. Kami hanya menurut. Tidak lama kemudian, dia menunjukkan sebuah kertas bertuliskan “Entry Form” di atasnya sambil tersenyum lebar dan berkata, “Aku dan kalian berempat telah kudaftarkan dalam Turnamen Penentuan Calon Dewa!”

“EEEEEHHHHH….!!???”

Terlihat di layar televisi, terpampang foto dan data diri kami berlima.
Peserta turnamen penentuan calon dewa tengah diumumkan……

[Tenshi no Melody] Disc 01 – End
Continued on the next Disc




This Post is created by Fudo~ All Post related to Japan's Entertainment Product

Artikel [Tenshi no Melody] Disc 01 - Departure ini dipublish oleh Fudo pada tanggal 27 Oktober 2012. Jangan lupa tinggalkan komentar ya.. :D. Ada 0 komentar: di postingan [Tenshi no Melody] Disc 01 - Departure
 

0 komentar:

Posting Komentar